PERIODE PERKEMBANGAN PARADIGMA- PARADIGMA
TRADISIONAL GEOGRAFI
Pada
masa paradigma tradisional muncul 3 macam paradigma dalam studi geografi.
Secara garis besarnya dimulai sebelum tahun 1960-an, antara lain:
- Paradigma Eksplorasi
- Paradigma Environmentalisme
- Paradigma Regionalisme
Masing-masing
paradigma ini menunjukkan sifat-sifatnya sendiri dan produknya yang merupakan
pencerminan perkembangan suatu tuntutan kehidupan serta pencerminan
perkembangan teknologi penelitian serta analisis yang ada.
a. Paradigma eksplorasi
Menunjukkan proses perkembangan awal dari pada “geographical
thought” yang pernah dikenal arsipnya. Kekuasaan paradigma ekplorasi ini
terlihat dari upaya pemetaan-pemetaan, penggambaran-penggambaran tempat-tempat
baru yang belum banyak diketahui dan pengumpulan fakta-fakta baru yang belum
banyak diketahui dan pengumpulan tempat-tempat baru yang belum banyak diketahui
dan pengumpulan fakta-fakta dasar yang berhubungan dengan daerah-daerah baru.
Dari kegiatan inilah kemudian muncul tulisan-tulisan atau gambaran-gambaran, peta-peta
daerah baru yang sangat menarik dan menumbuhkan motivasi yang kuat bagi para
peneliti untuk lebih menyempurnakan produk yang sudah ada, baik berupa tulisan
maupun peta-petanya.
Penemuan-penemuan daerah baru yang sebelumnya belum banyak
dikenal oleh masyarakat barat mulai bermunculan pada saat itu. Sifat dari pada
produk yang dihasilkan berupa deskriptif dan klasifikasi daerah baru beserta
fakta-fakta lapangannya. Suatu hal yang mencolok adalah sangat terbatasnya
latar belakang teoritis yang mendasari penelitian-penelitian yang dilaksanakan.
Inilah sebabnya ada beberapa pihak yang menganggap bahwa untuk menyebut
perkembangan “geographical thought” atau pikiran/ gagasan secara
geografi sebagai suatu deskripsi sederhana tentang apa yang diketahui dan dihasilkan
dari pengaturan (ordering) dan klasifikasi (classification) data yang masih
sangat sederhana.
b. Paradigma Environmentalisme
Paradigma ini muncul sebagai perkembangan selanjutnya dari
metode terdahulu. Pentingnya sajian yang lebih akurat dan detail telah menuntut
peneliti-peneliti pada masa ini untuk melakukan pengukuran-pengukuran lebih
mendalam lagi mengenai elemen-elemen lingkungan fisik dimana kehidupan manusia
berlangsung. Paradigma ini terlihat mencuat pada akhir abad sembilan belas,
dimana pendapat mengenai peranan yang besar dari “lingkungan fisik” terhadap
pola-pola kegiatan manusia di permukaan bumi bergaung begitu lantang (geographical
determinism). Bahkan, sampai pertengahan abad dua puluh saja, ide-ide ini
masih terasa gemanya.
Bentuk-bentuk analisis morfometrik dan analisis sebab-akibat
mulai banyak dilakukan. Dalam beberapa hal “morphometric analysis” pada taraf
mula ini berakar pada “cognitive description”dimana pengembangan sistem
geometris, keruangan dan koordinat yang dikerjakan telah membuahkan
sistematisasi dan klasifikasi data yang lebih lengkap, akurat dibandingkan
dengan tehnik-tehnik terdahulu.
Muncul analisis newtwork untuk mempelajari pola dan
bentuk-bentuk kota misalnya, merupakan salah satu contohnya dan kemudian sampai
batas-batas tertentu dapat digunakan untuk membuat prediksi (model-model
prediksi)dan simulasi. Untuk ini, karya Walter Christaller (1993) merupakan
contoh yang baik. Upaya untuk menjelaskan terkondisinya fenomena-fenomena
tertentu, khususnya “human phenomena” oleh elemen-elemen lingkungan fisik mulai
dikerjakan lebih baik dan sistematik. Akar daripada latar belakang analisis
hubungan antara manusia dan lingkungan alam bermulai disini.
Perkembangannya kemudian nampak bahwa analisis hubungan
antara manusia dengan lingkungan alam telah memunculkan bentuk-bentuk lain di
dalam menempatkan manusia pada ekosistem. Manusia tidak lagi sepenuhnya didekte
oleh lingkungan alam tetapi manusia mempunyai peranan yang lebih besar lagi di
dalam menentukan bentuk-bentuk kegiatannya di permukaan bumi (geographical
possibilism dan probabilism).
c. Paradigma Regionalisme
Perkembangan terakhir dari periode paradigma tradisional
adalah paradigma Regionalisme. Disini nampak unsur “fact finding tradition of
exploration” di satu sisi dan upaya memunculkan sistesis hubungan manusia dan
lingkungannya di sisi lain nampak mewarnai paradigma ini. Konsep-konsep region
bermunculan sebagai dasar pengenalan ruang yang lebih detail.
Wilayah ditinjau dari segi tipenya (formal and functional
regions) wilayah ditinjau dari segi hirarkinya (the 1st order, the 2nd
order, the3rd order, etc. Regions) dan wilayah ditinjau dari segi
kategorinya (single topic, duoble topic, combine topic, multiple topic, total,
regions) adalah beberapa contoh konsep-konsep yang muncul sejalan dengan
berkembangnya paradigma regionalisme ini, dalam membantu analisis. Disamping
itu “temporal analysis” sebagai salah satu bentuk “causal analysis” berkembang
pula pada periode ini (Rostow, 1960; Harvey, 1969).
PERIODE PERKEMBANGAN PARADIGMA-PARADIGMA KONTEMPORER
Pada
masa ini mulai terjadi perkembangan baru di bidang metode analisis kuantitatif
dan “model building”. Perkembangan paradigma geografi pada msa ini juga disebut
sebagai periode paradigma analisis keruangan (the spatial analysis paradigm).
Coffey (1981) mengemukakan tentang ciri-ciri paradigma geografi kontemporer
antara lain yaitu adanya sinyalemen bahwa salah satu ciri daripada geografi
kontemporer adalah adanya kecenderungan spesialisasi yang dikhawatirkan akan
menjauh dari fitrah geografi sendiri. Hal ini ternyata sejalan dengan apa yang
masing-masing spesialisasi ini menjadi sedemikian terpisah atau salah satu sama
lain sehingga hubungan intelektualnya pudar.
Kemudian
dikemukakan pula bahwa untuk mengatasi agar bahaya yang disinyalir oleh para
pakar mengenai pudarnya fitrah geografi adalah dengan pendekatan sistem,
khususnya spatial system approach. Untuk sampai ke arah ini, dengan
sendirinya pengetahuan dasar mengenai sistem sendiri harus dimiliki oleh
mahasiswa geografi. Pada masa ini functional analysis, ecological analysis
dan system analysis berkembang dengan baik pula sejalan dengan inovasi
daripada teknik-teknik dan metode analisis (Holt-Jensen, 1980).
Ide untuk kembali ke fitrah geografi memang berulang-ulang didengungkan
oleh para pakar. Hal ini memang wajar sekali karena telah disinyalir munculnya
penyimpangan-penyimpangan yang dianggap mengaburkan ciri khas geografi itu
sendiri. Selama perkembangannya, ada dua gerakan munculnya ide sintesis ini.
Gerakan pertama kali dikemukakan oleh Ritter dimana studi Geografi tidak lain
dianggap sebagai suatu “regional synthesis”. Semua fenomena dianggap
berhubungan satu sama lain dan masing-masing mempunyai peranannya yang khas
dalam satu perangkat sistem. Untuk itulah geografiwan harus mempelajari
sintesis daripada gejala-gejala yang ada pada suatu wilayah dan yang
mengungkapkan apa yang disebut sebagai “wholeness”. Ide pendekatan sistem
memang tidak dapat dipisahkan dari pemikiran-pemikiran ini.
Konsep sintesis baru dikemukakan oleh Peter Haggett (1975)
di dalam karyanya yang berjudul “Geography : A Modern Synthesis”. Sintesis baru
ini berusaha merangkum beberapa pendekatan terdahulu sampai saat ini dengan
memberi warna yang lebih fleksibel sesuai dengan tuntutan zaman dan kemajuan di
bidang teknologi.
ARTI PENTING PENDEKATAN DALAM PARADIGMA GEOGRAFI
Dalam menghampiri, menganalisis gejala dan permasalahan
suatu ilmu (sains), maka diperlukan suatu metode pendekatan (approach method).
Metode pendekatan inilah yang digunakan untuk membedakan kajian geografi dengan
ilmu lainnya, meskipun obyek kajiannya sama.
Metode pendekatan ini terbagi 3 macam bentuk pendekatan
antara lain: pendekatan keruangan, pendekatan ekologi/kelingkungan dan
pendekatan kewilayahan.
- Keruangan, analisis yang perlu diperhatikan adalah penyebaran, penggunaan ruang dan perencanaan ruang. Dalam analisis peruangan dikumpulkan data ruang disuatu tempat atau wilayah yang terdiri dari data titik (point), data bidang (areal) dan data garis (line) meliputi jalan dan sungai.
- Kelingkungan, yaitu menerapkan konsep ekosistem dalam mengkaji suatu permasalahan geografi, fenomena, gaya dan masalah mempunyai keterkaitan aspek fisik dengan aspek manusia dalam suatu ruang.
- Kewilayahan, yang dikaji yaitu tentang penyebaran fenomena, gaya dan masalah dalam ruangan, interaksi antar/variabel manusia dan variabel fisik lingkungannya yang saling terkait dan mempengaruhi satu sama lainnya. Karena pendekatan kewilayahan merupakan perpaduan antara pendekatan keruangan dan kelingkungan, maka kajiannya adalah perpaduan antara keduanya.
Pendekatan keruangan, pendekatan
kelingkungan dan pendekatan kewilayahan dalam kerjanya merupakan satu kesatuan
yang utuh. Pendekatan yang terpadu inilah yang disebut pendekatan geografi.
Jadi fenomena, gejala dan masalah ditinjau penyebaran keruangannya, keterkaitan
antara berbagai unit ekosistem dalam ruang. Penerapan pendekatan geografi
terhadap gejala dan permasalahan dapat menghasilkan berbagai
alternatif-alternatif pemecahan masalah.
TANTANGAN GEOGRAFI KE DEPAN
a. Dampak Teknologi Komunikasi dan Internet
Sekiar
tahun 1990 beredar buku megatrend 2000. Dalam buku itu Naibit dan Arburdense
(1990) mensinyalair ada sepuluh kecenderungan (trend) yang akan terjadi pada
tahun 2000-an, yaitu:
- masyarakat informasi menjadi masyarakat industri
- teknologi pasca menjadi high tech
- ekonomi nasional menjadi ekonomi dunia
- jangka pendek menjadi jangka panjang
- sentralisasi menjadi desentralisasi
- bantuan institusional menjadi bantuan diri
- demokrasi representatif menjadi demokrasi partisipatif
- hirarki menjadi jaringan
- utara menjadi selatan
- salah satu menjadi pilihan ganda
Bedasarkan ramalan itu tampak bahwa
dewasa ini terjadi perubahan dari masyarakat industri menuju masyarakat
informasi. Informasi telah menjadi bagian penting bagi individu, masyarakat dan
negara. Informasi merupakan bagian dari kehidupan mereka sehari-hari untuk
pengambilan keputusan.
Keberadaan masyarakat informasi
dewasa ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi komuniasi dan internet.
Integrasi kedua teknologi itu telah melipatkan gandakan informasi dan
menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia dalam waktu yang cepat.
Intergrasi teknologi komputer dengan teknologi
komunikasi itu telah mewujudkan suatu jaringan besar antar warga negara tanpa
harus diikat dengan batas-batas negara yang bersangkutan (bordeless).
Teknologi itu telah mampu
membuktikan sebagai wahana untuk mengolah (procesess) data menjadi
informasi dengan cepat. Selain itu teknologi itu juga telah mampu digunakan
sebagai infrastruktur untuk pengiriman data atau informasi secara cepat, murah
dan praktis.
Disiplin geografi merupakan salah
satu bidang ilmu yang memerlukan infrastruktur untuk mengolah data geografis
menjadi informsi geografi secara cepat. Informsi geografi hasil prosesing itu
dibutuhkan oleh berbagai bidang untuk pengembangan wilayah, konsrvasi
sumburdaya, penataan ruang, dan sebagainya.
Dalam mempelajari obyeknya, disiplin
geografi menggunakan pendekatan keruangan. Dalam pendekatan itu struktur, pola
dan proses keruangan harus dapat dipelajari dengan baik dan cepat.
Untuk mempelajari aspek keruangan
seperti itu teknologi komputer telah menyediakan program-program analisis
keruangan yang makin praktis dan mudah dioperasikan. Dengan kemudahan itu
informasi geografi dapat lebih cepat dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan.
Dengan teknolgi internet informasi dapat dengan mudah dan
cepat dikirim keseluruh penjuru dunia. Hal itu tidak hanya bermakna untuk
penyebaran informasi, tetapi juga untuk memberikan paradigma baru dalam
pengelolaan lingkungan menuju keberlanjutan. Sebagaimana permasalahan
lingkungan dewasa ini yang paling serius adalah mewujudkan keberlanjutannya.
Dengan kehadiran komputer sebagai komponen teknologi
informasi proses analisis dan integrasi yang rumit kalau dikerjakan secara
manual akan menjadi mudah, cepat dan akurat (Sutanto, 2000). Oleh karena itu
dalam 2 (dua) dekade belakangan ini peran teknologi informasi dalam aplikasi
ilmu geografi berkembang dengan cepat dan mejadi kebutuhan yang penting bagi
setiap warganegara untuk mengelola wilayah dan sumberdayanya. Pemanafaatan
teknologi informasi dlam aplikasi ilmu geografi dikenana dengan Sistem
Informasi geografi (SIG). SIG dewasa ini telah berkembang dengan pesat karena
didukung dengan teknologi pengindraan jauh (inderaja) dan Global Posistion
System (GPS).